Rabu, 07 April 2010

Kekuatan tanpa kekerasan

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil diluar kota Durban, Afrika Selatan.

Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman dan menonton bioskop.

Suatu hari, ayah saya meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh, dan saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu saya akan pergi ke kota, ibu memberi daftar belanjaan yang dia perlukan, selain itu ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi ayah berkata “Ayah akan tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”

Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop.

Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa waktu. Begitu melihat jam menunjukan pukul 5.30 sore, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu hampir pukul 6.00 sore.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, ‘Kenapa kau terlambat?”

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, “Tadi mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”

Padahal tanpa sepengetahuan saya ayah telah menelepon bengkel mobil itu.
Dan kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, “adalah kesalahan ayah, kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan berjalan kerumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Lalu ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, mulai berjalan kaki pulang kerumah.

Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau melihat penderitaan yang di alami oleh ayah saya hanya karena kebohongan bodoh yang telah saya lakukan.

Sejak itu saya tidak akan pernah berbohong lagi.

Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan?

Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi dengan hanya satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.

(di adaptasi dari “The Power Of Nonviolence””, Copyright Dr. Arun Gandhi.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar