Sabtu, 13 November 2010

Pembentukan Kata

PEMBENTUKAN KATA
1. Imbuhan dari bahasa asing
Yang perlu kita pelajari ialah adanya imbuhan yang berasal dari bahasa asing yang kadang juga dikenakan pada kata dasar bahasa Indonesia. Kata-kata asing yang diserap dalam bahasa Indonesia itu pada dasarnya kita pandang sebagai kata dasar. Namun demikian bentuk-bentuk kata asing itu bermacam-macam, sehingga memungkinkan kita untuk menganalisis bentuk-bentuk tersebut dan menemukan awalan atau akhirannya. Kita mengenal kata-kata objek, objektif, objektivitas, objektivisme, objektivisasi. Dari bentuk tersebut kita menemukan kata dasar objek, akhiran –if, itas, -isme, -isasi. Di samping kata moral atau sosial kita kenal adanya amoral, atau asosial. Di samping kata evaluasi kita mengenal devaluasi, di samping regulasi kita mengenal deregulasi, di samping harmoni kita mengenal disharmoni, di samping integrasi kita mengenal disintegrasi. Demikianlah kita mengenal adanya awalan a-, de-, dis-.
1. Awalan
Awalan-awalan pada kata-kata serapan yang disadari adanya, juga oleh penutur yang bukan dwibahasawan, adalah sebagai berikut:
a. a- seperti pada amoral, asosial, anonym, asimetris. Awalan ini mengandung arti ‘tidak’ atau ‘tidak ber’;
b. anti- seperti pada antikomunis, antipemerintah, antiklimaks, antimagnet, antikarat yang artinya ‘melawan’ atau ‘bertentangan dengan’;
c. bi- misalnya pada bilateral, biseksual, bilingual, bikonveks. Awalan ini artinya ‘dua’;
d. de- seperti pada dehidrasi, devaluasi, dehumanisasi, deregulasi. Awalan ini artinya ‘meniadakan’ atau ‘menghilangkan’;
e. eks- seperti pada eks-prajurit, eks-presiden, eks-karyawan, eks-partai terlarang. Awalan ini artinya ‘bekas’ yang sekarang dinyatakan dengan kata ‘mantan’.
f. ekstra- seperti pada ekstra-universiter, ekstra-terestrial, ekstra linguistic, kadang juga dipakai pada kata-kata bahasa Indonesia sendiri. Contoh: ekstra-ketat, ekstra-hati-hati. Awalan ini artinya ‘tambah’, ‘diluar’, atau ‘sangat’;
g. hiper- misalnya pada hipertensi, hiperseksual, hipersensitif. Awalan ini artinya ‘lebih’ atau ‘sangat’;
h. in- misalnya pada kata inkonvensional, inaktif, intransitive. Awalan ini artinya ‘tidak’;
i. infra- misalnya pada infrastruktur, inframerah, infrasonic. Awalan ini artinya ‘di tengah’;
j. intra- misalnya pada intrauniversiter, intramolekuler. Awalan ini artinya ‘di dalam’;
k. inter- misalnya interdental, internasional, interisuler, yang biasa di Indonesiakan dengan antar-;
l. ko- misalnya pada kokulikuler, koinsidental, kopilot, kopromotor. Awalan ini artinya ‘bersama-sama’ atau ‘beserta’;
m. kontra- misalnya pada kontrarevolusi, kontradiksi, kontrasepsi. Awalan ini artinya ‘berlawanan’ atau ‘menentang’;
n. makro- misalnya pada makrokosmos, makroekonomi, makrolinguistik. Awalan ini artinya ‘besar’ atau ‘dalam arti luas’;
o. mikro- seperti pada mikroorganisme, mikrokosmos, microfilm. Awalan ini artinya ‘kecil’ atau ‘renik’;
p. multi- seperti pada multipartai, multijutawan, multikompleks, multilateral, multilingual. Awalan ini artinya ‘banyak’;
q. neo- seperti pada neokolonialisme, neofeodalisme, neorealisme. Awalan ini artinya ‘baru’;
r. non- seperti pada nongelar, nonminyak, nonmigas, nonberas, nonOpec. Awalan ini artinya ‘bukan’ atau ‘tidak ber-‘.
2. Akhiran
Pada kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia kita jumpai akhiran-akhiran seperti berikut:
a. –al misalnya pada actual, structural, emosional, intelektual. Kata-kata yang berakhiran –al ini tergolong kata sifat;
b. –asi/isasi misalnya pada afiksasi, konfirmasi, nasionalisasi, kaderisasi, komputerisasi. Akhiran tersebut menyatakan ‘proses menjadikan’ atau ‘penambahan’;
c. –asme misalnya pada pleonasme, aktualisme, sarkasme, antusiasme. Akhiran ini menyatakan kata benda;
d. –er seperti pada primer, sekunder, arbitrer, elementer. Akhiran ini menyatakan sifat;
e. –et seperti pada operet, mayoret, sigaret, novelete. Akhiran ini menyatakan pengertian ‘kecil’. Jadi operet itu ‘opera kecil’, novelet itu ‘novel kecil’;
f. –i/wi/iah misalnya pada hakiki, maknawi, asasi, asali, duniawi, gerejani, insani, harfiah, unsuriyah, wujudiyah. Akhiran-akhiran ini menyatakan sifat;
g. –if misalnya pada aktif, transitif, obyektif, agentif, naratif. Akhiran ini menyatakan sifat;
h. –ik 1 seperti pada linguistic, statistic, semantic, dedaktik. Akhiran ini menyatakan ‘benda’ dalam arti ‘bidang ilmu’;
-ik 2 seperti pada spesifik, unik, karakteristik, fanatic, otentik. Akhiran ini menyatakan sifat;
a. -il seperti pada idiil, materiil, moril. Akhiran ini menyatakan sifat. Pada kata-kata lain kata-kata ini diganti dengan –al;
b. –is 1 pada kata praktis, ekonomis, yuridis, praktis, legendaries, apatis. Akhiran ini menyatakan sifat;
-is 2 pada kata ateis, novelis, sukarnois, Marxis, prosaic, esei. Akhiran ini menyatakan orang yang mempunyai faham seperti disebut dalam kata dasar, atau orang yang ahli menulis dalam bentuk seperti yang disebut di dalam kata dasar;
a. -isme seperti pada nasionalisme, patriotisme, Hinduisme, bapakisme. Isme artinya ‘faham’;
b. –logi seperti pada filologi, sosiologi, etimologi, kelirumologi, -logi artinya ‘ilmu’;
c. –ir seperti pada mariner, avonturir, banker. Akhiran ini menyatakan orang yang bekerja pada bidang atau orang yang mempunyai kegemaran ber-;
d. –or seperti pada editor, operator, deklamator, noderator. Akhiran ini artinya orang yang bertindak sebagai orang yang mempunyai kepandaian seperti yang tersebut pada kata dasar;
e. –ur seperti pada donator, redaktur, kondektur, debitur, direktur. Akhiran ini seperti yang di atas menyatakan agentif atau pelaku;
f. –itas seperti pada aktualitas, objektivitas, universitas, produktivitas. Akhiran ini menyatakan benda.
2. Upaya Pengindonesiaan
Awalan dan akhiran di atas berdasarkan maknanya dapat dibeda-bedakan menjadi beberapa kelompok. Ada imbuhan yang membentuk kata benda, ada imbuhan yang membentuk kata sifat. Beberapa awalan dapat digolongkan sebagai menyatakan pengertian negative, yaitu awalan a-, in-, non-, dis- dan beberapa awalan lain yang tak tercantum dalam daftar di atas seperti ab-, im-, il- dan akhiran –less, yang artinya ‘tidak, bukan, tanpa, atau tidak ber’.
Kata sifat bentuk dengan penambahan akhiran –al, er-, if-, dan –ik. Di samping itu dapat juga digunakan akhiran dari bahasa Arab –i/-wi/-iah yang tidak lagi terasa akhiran asing dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia sendiri tidak banyak afiks pembentuk kata sifat, seperti yang disebut oleh Fokker (1960:139) bahwa bahasa Indonesia miskin susunan ajektivis.
Dalam bahasa Indonesia kedudukan kata dalam satuan sintaksis yang lebih besar menentukan sifat hubungannya dengan kata lain. Kata benda kayu dapat mensifatkan kata lain seperti halnya kata sifat bagus. Seperti hanya bagus pada meja bagus, kayu, juga mensifatkan meja pada meja kayu. Dalam bahasa Indonesia kata kayu tidak mengalami perubahan bentuk, dan semata-mata posisinya dalam satuan sintaksis yang menempatkannya sebagai atribut.
Menurut kaidah bahasa Indonesia barangkali kata morfologi atau akademi tidak perlu berubah apabila berpindah posisinya, misalnya pada morfologi bahasa Indonesia dan proses morfologi, serta akademi bahasa Indonesia dan pembantu dekan bidang akademi. Urusan akademi dan urusan akademis maknanya berbeda; yang pertama menyatakan hubungan kemilikan yang kedua hubungan kesifatan. Tetapi hubungan makna itu barangkali baru timbul setelah bahasa Indonesia menyerap kata-kata asing yang berbeda bentuknya itu.
Untuk menegaskan perbedaan hubungan makna itu, untuk kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri digunakan konfiks ke-an, contohnya: sifat ibu dan sifat keibuan, uang negara dan kunjungan kenegaraan.
Yang sering menimbulkan keraguan ialah penggunaan akhiran –is dan –ik. Mana yang betul: akademis atau akademik, endosentris atau endosentrik? Akhiran –is diserap dari bahasa Belanda –isch, sedang –ik dari bahasa Inggris –ic atau –ical. Sementara itu akhiran –ik diserap jujga dari akhiran –ics dari bahasa Inggris yang menandai kata benda, seperti: statistic, linguistic, semantic, fonetik. Seperti yang digariskan di dalam Pedoman Pembentukan Istilah, mengingat akhiran –ik banyak digunakan untuk menandai kata benda (statistic, linguistic, semantic, logistic, dan sebagainya) untuk kata sifat hendaknya digunakan –is, kecuali pada kata-kata: simpatik, unik, alergik, spesifik, karakteristik, analgesik.
Akhiran yang berasal dari bahasa Arab, yang terasa lebih bersifat Indonesia, dapat digunakan untuk menerjemahkan kata-kata asing, misalnya penalaran mantiki (logika reasoning), antropologi ragawi (physical anthropology), makhluk surgawi (devine being), terjemahan harfiah (letteral translation) dan sebagainya.
Di samping itu, untuk menyatakan pengertian seperti yang dinyatakan oleh bentukan-bentukan dalam bahasa asing, dalaml bahasa Indonesia sendiri digali imbuhan atau kata-kata yang diharapkan dapat menjadi padanan bentukan-bentukan dalam bahasa asing (Johannes, 1982 dan 1983, dan dalam Moeliono dan Dardjowidjojo (Eds.), 1988:431). Daftar afiks, morfem, atau kata tersebut adalah sebagai berikut.
1. adi- seperti pada: adidaya (super power), adikodrati (super natural), adikarya (masterpiece), adibusana (high fashion), adimarga (boulevard);
2. alih seperti pada: alih aksara (transliteration), alih tulis (transcript), alih
teknologi (transfer of technology), alih bahasa (translate);
3. antar- seperti pada: antarbangsa (internasional), antarnusa (interinsuler),
antarbenua (intercontinental), antardepartemen (interdepartmental);
4. awa- pada: awahama (disinfect), awabau (deodorize), awahubung (disconnect), awawarna (discolor), pengawasan (disimilasi);
5. bak- pada bakruang (space-like), bakelektron (electron-like), bakintan
(adamantine), bakagar (galantineous);
6. dur- pada: durjana (evildoer), dursila (immoral), durkarsa (malevolence,
malice), durhaka (sinful);
7. lepas pada: lepas landas (takeoff), lepas pantai (offshore);
8. lir- pada: lirkaca (glassy) liragar (galantineous) liritan (adamantine) sang lir sari ‘yang seperti bunga’;
9. maha- pada: maharaja (kaisar, raja besar), mahaguru (guru besar), mahasiswa, Maha Esa, Mahaadil, Mahakuasa, Maha Pemurah;
10. mala- pada: malagizi (malnutrition), malabentuk (malformation), malakelola
(mismanage), malapraktik (malpractice);
11. nara pada: narasumber (resource person), narapidana (convicted), narapraja
(pegawai pemerintah), nararya (nonbleman);
12. nir- pada: nirnoda (stainless), nirnyawa (inanimate), niraksara (illiterate),
nirgelar (non-degree), niranta (infinite);
13. pasca- pada: pascapanen (postharvest), pascasarjana (postgraduate), pascadoktor (postdoctoral), pascaperang (postwar);
14. peri- pada: perijam (clookwise), periujung (endwise), perkipas (fanwise),
peridolar (dollarwise);
15. pra- pada: prasejarah (prehistory), prakira (forecast), pratinjau (preview),
prakata (foreword, preface);
16. pramu- pada: pramugari (stewardes), pramuwisata (tourist guide), pramuria (hostess), pramusiwi (babysitter);
17. purna- pada: purnawaktu (fulltime), purnakarya (pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik), purnakaryawan (pensiunan pegawai negeri), purnawirawan (pensiunan ABRI);
18. rupa pada: rupa bola (speroid), rupa tangga (scalariform), rupa baji (cuneiform)
19. salah pada: salah cetak (misprint), salah hitung (miscalculate), salah ucap
(misspel), salah paham (misunderstanding);
20. serba- pada: serbasama (homogeneous), serbabisa (all-round), serbaguna
(multipurpose), serbaneka (multivarious), serbacuaca (all-weather);
21. su- pada: sujana (orang baik lawannya durjana), susastra (sastra yang baik, indah), suganda (bau yang harum), sukarsa (good-will), sudarma (darma yang baik);
22. swa- pada: swakarsa (kemauan sendiri), swasembada (dapat memenuhi kebutu han sendiri), swadaya (kekuatan sendiri), swakelola (dikelola sendiri), swapraja (daerah otonom);
23. tan- pada tanlogam (non-metal), tansuku (non-syllabic), tanvokoid
(non-vokoid), tanorganik (anorganic, inorganic);
24. tak- pada: taksosial (asocial), taknormal (abnormal), taksah (illegal), takhidup (nonliving), takmurni (impure);
25. tata pada: tata bahasa, tata hokum, tata kalimat, tata nama;
26. tuna- pada: tunakarya, tunawisma, tunasusila, tunanetra;
27. sisipan –in- pada: tinambah (addent), kinurang (subtrahend), binagi (dividend), minantu (son-in-low), linambang (sign);
28. sisipan –em- pada: gemaung (echoic), gemetar (tremulous), timambah (additive), temerang (shiny).
29. awalan bilangan eka pada: ekaprasetyaj, ekasila; dwi- pada: dwiwarna, dwipihak; tri- pada: tridarma, triratna, tritunggal; catur- pada: caturwarga; panca- pada: pancamarga, pancasila; sad- pada: sadpada; sapta- pada: saptaprasetya, saptamarga; hasta- pada: hastabrata; nawa- pada: nawaaksara; dasa- pada: dasasila;
30. akhiran –wan/-man/-wati
Akhiran –wan ditambahkan pada kata-kata benda yang berakhir dengan vokal a seperti pada gunawan, bangsawan, hartawan, negarawan, sastrawan dan sebagainya. Untuk kata-kata yang terakhir dengan vocal I atau u dulu digunakan akhiran –man seperti pada seniman, budiman, dan Hanuman. Sekarang varian –man sudah tidak produktif lagi, akhiran –wan digunakan juga untuk kata benda yang tidak berakhir dengan vokal a, contohnya rokhaniwan, bahariwan, ilmuwan. Kadang ada kecenderungan untuk menambahkan vokal a pada kata yang berakhir dengan vokal i, misalnya industriawan.
Dengan alat-alat ketatabahasaan di atas diharapkan bahwa bahasa Indonesia menjadi lebih luwes dalam menyatakan kembali berbagai konsep dalam berbagai bidang ilmu yang berasal dari Barat. Kemampuan untuk menyerap berbagai gagasan dari Barat dan mengungkapkannya kembali dalam bahasa Indonesia, diharapkan semakin meningkat. Kata-kata asing tidak kita pungut begitu saja, melainkan diusahakan agar dapat dinyatakan dengan kata-kata yang lebih bersifat Indonesia.
Kembali kepada sarana morfologi untuk menyatakan pengertian ‘negatif’ seperti yang dikemukakan pada awal subbab ini. Dari penggalian potensi yang ada pada bahasa Indonesia sendiri disarankan penggunaan awalan nir-, tan-, tak dan tuna. Dari pengamatan sekilas kelihatan bahwa penggunaan non- masih tetap lebih tinggi kekerapannya daripada awalan dalam bahasa Indonesia sendiri yang diusulkan. Awalan non- kita jumpai pada: non-gelar, non-Opec, non-beras, non-minyak, non-Jawa, non-pribumi, non-Barat, non-Islam dan sebagainya.Awalan nir- dan tan- jarang dijumpai. Sementara awalan tuna- memang agak produktif, seperti pada: tunadaksa, tunagrahita, tunaaksara.
Akhiran-akhiran –is seperti pada linguis, novelis; -ir seperti banker, mariner; -or seperti pada koruptor, senator; -ur seperti pada direktur, redaktur; menyatakan pelaku atau orang yang mempunyai pekerjaan atau keahlian dalam bidang tertentu. Begitu juga akhiran –us pada kritikus, teknikus, musikus, teoritikus, politikus, akademikus, yang jamaknya ditandai dengan akhiran –si; kritisi, teknisi, teoritisi, musisi, politisi, akademisi.
Dalam bahasa Indonesia ada awalan pe- dan pem- di samping akhiran –wan/-wati seperti yang disebutkan di atas. Beberapa kata asing memang dapat lebih diindonesiakan dengan akhiran –wan, misalnya: politikus/politisi menjadi negarawan, linguis menjadi ilmu bahasawan, grammarian menjadi tata bahasawan, librarian menjadi pustakawan.
Pembedaan tunggal-jamak seperti pada politikus dan politisi, kriterium dan criteria, datum dan data, unsur dan anasir tidak begitu diperhatikan dalam bahasa Indonesia. Memang sesudah terserap dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tentu saja tidak perlu tunduk pada kaidah bahasa aslinya. Kalau politisi, criteria, data dan unsur yang lebih banyak dipakai boleh saja untuk menyatakan jamak kata itu diulang menjadi politisi-politisi, kriteria-kriteria, data-data atau unsur-unsur. Begitu juga kalau dalam suatu upacara penguburan seorang yang memberikan sambutan mengajak para hadirin berdoa agar arwah almarhumah diberi tempat yang layak di sisi Tuhan.
Awalan peng- tidak dapat bersaing dengan awalan-awalan tersebut di atas, juga dengan akhiran –wan/-wati. Kata benda berawalan peng- diturunkan dari kata kerja; menjahit – penjahit, mengarang – pengarang, melempar – pelempar. Bentuk pirsawan yang diturunkan dari pirsa ‘melihat’ dipandang tidak tepat dan diganti dengan pemirsa. Awalan peng- diturunkan dari kata kerja berawalan meng-, sedang variannya yang tidak mengandung sengauan diturunkan dari kata kerja berawalan ber. Adanya bentuk-bentuk pecatur, pegolf, pebowling, pejudo, pesilat, petenis, barangkali diturunkan dari bermain catur, golf, tenes, dan sebagainya.
Akhiran –asi atau –isasi sangat produktif, sampai-sampai kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri ada yang mendapat akhiran tersebut. Contohnya: turinisasi, lamtoronisasi, komporisasi, pompanisasi, randuisasi. Kata-kata bentukan dengan akhiran semacam ini sebenarnya dapat dinyatakan dengan konfiks peng – an misalnya penasionalan untuk nasionalisasi, pembaratan untuk westernisasi, pengintensifan untuk intensifikasi, pengonkretan untuk konkretisasi, pembabakan untuk periodisasi. Namun bentukan dengan –sasi atau –isasi tetap produktif dan banyak digunakan dalam bidang ilmu.
Hal yang sama berlaku untuk beberapa bentukan dengan akhiran –itas dengan konfiks ke–an seperti: objektivitas dengan keobjektifan, aktualitas dengan keaktualan, sportivitas dengan kesportifan, agresivitas dengan keagresifan, elastisitas dengan keelastisan, kompleksitas dengan kekompleksan.
Kata mantan, meskipun cakupan maknanya tidak seluas –eks, dalam beberapa pemakaian dapat menggantikan kata tersebut. Semacam awalan bak- dan lir- mempunyai arti yang sama dan rupanya sengaja ditawarkan mana yang dipilih diantara dua bentuk itu. Awalan dur- dan lawannya su- juga belum diterima dan dipergunakan oleh para penutur. Mengenai pasca- dan purna- kedua awalan itu kadang dikacaukan. Ada pelayanan pascajual dan pelayanan purnajual. Yang betul ialah pascajual. Pasca- adalah lawannya pra-, purna- tidak hanya menyatakan pengertian ‘selesai’ atau ‘sesudah’, melainkan juga ‘penuh; baik, atau berhasil’. Purnakaryawan ialah karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik sampai pensiun.
3. Pembentukan Lebih Lanjut
Yang dimaksud pembentukan lebih lanjut ialah pembentukan kata turunan melalui proses morfologi bahasa Indonesia dengan kata-kata serapan sebagai bentuk dasarnya. Kata-kata serapan, sebagai warga kosakata bahasa Indonesia, juga dapat mengalami proses pembentukan sebagaimana warga kosakata yang lain. Proses pembentukan itu ada tiga macam, yaitu pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Dalam kaitannya dengan unsur serapan, pembicaraan hanya menyangkut pengimbuhan, karena dalam pengulangan dan pemajemukan tidak ada yang perlu dibicarakan.
Pembicaraan mengenai pembentukan lebih lanjut sebenarnya sudah dimulai ketika dibicarakan konfiks peng–an dan ke-an dengan unsure serapan sebagai kata dasarnya. Begitu juga waktu dibicarakan pengulangan kata ‘data’ ‘ politisi’, dan ‘arwah’. Dalam kaitannya dengan penambahan awalan meng-, peng- dan peng–an perlu diamati apakah kata dasar yang berupa kata serapan itu diperlakukan sama atau berbeda dengan kata-kata yang lebih asli. Juga mengingat bahwa unsur-unsur serapan itu ada yang diawali dengan gugus konsonan.
Kata-kata yang diawali oleh konsonan hambatan tak bersuara /p/,/t/,/k/, dan geseran apiko-alveolar /s/ jika mendapat awalan meng- atau peng- fonem tersebut hilang atau luluh, contohnya: pukul menjadi memukul dan pemukul, tolong menjadi menolong dan penolong, karang menjadi mengarang dan pengarang, susun menjadi menyusun dan penyusun. Perlu dipertanyakan apakah hal yang sama juga dialami oleh kata-kata serapan, dan bagaimana jika fonem-fonem awal tersebut membentuk satu gugus dengan fonem-fonem yang lain.
Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan bilabial tak bersuara /p/ contohnya: paket, parker, potret, piket. Jika mendapat awalan meng- dan peng- atau peng – an, kata-kata tersebut menjadi memaketkan, memarkir, memotret, dan memiketi; pemaketan, pemarkiran, pemotretan, pemiketan. Jadi kata-kata serapan tersebut diperlakukan sama dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang lain.
Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan apiko – dental tak bersuara /t/ contohnya: target, teror, terjemah, telpon. Apabila dibentuk dengan awalan meng- menjadi menargetkan atau mentargetkan; meneror atau menteror, menerjemahkan, dan menelpon. Jika dibentuk dengan peng – an menjadi; penargetan atau pentargetan, peneroran atau penteroran, penerjemahan, dan penelponan. Bentukan menargetkan dan penargetan, meneror dan peneroran agaknya masih belum berterima. Soal keberterimaan itu rupanya ditentukan oleh tingkat keasingan (atau keindonesiaan) kata serapan tersebut. Kata ‘tekel’ (dari tackle) tidak berterima jika dibentuk menjadi menekel dan penekelan, yang berterima ialah men-tekel dan pen-tekel-an.
Agar dapat dibentuk sesuai dengan kaidah morfofonemik yang berlaku, kata asing yang kemudian menjadi kata dasar itu harus sudah dikenal dengan baik. Kata yang belum begitu dikenal apabila mengalami proses morfofonemis menyebabkan orang sulit mengenal kata dasar dari suatu bentukan. Oleh karena itu, untuk kata-kata yang belum dikenal, bukan saja konsonan awalnya tidak mengalami peluluhan, melainkan juga diberi tanda hubung untuk mempertegas batas antara kata dasar dengan unsur-unsur pembentukannya, seperti contoh di atas yaitu men-tekel dan pen-tekel-an.
Konsonan geseran labio-dental tak bersuara /f/ dulu disesuaikan dengan system fonologi bahasa Indonesia menjadi /p/. Yang sudah disesuaikan menjadi /p/ mengalami penghilangan atau luluh, sedang apabila tetap /f/ mendapat sengauan yang homorgan, yaitu /m/. Contohnya: pikir menjadi memikirkan dan pemikiran; fitnah menjadi memfitnah dan pemfitnahan.
Konsonan hambatan dorso-velar tak bersuara /k/ yang mengalami kata-kata katrol, kontak, konsep, dan keker luluh apabila mendapat awalan meng- atau konfiks peng-an seperti terlihat pada: mengatrol dan pengatrolan, mengontak dan pengontakan, mengonsep dan pengonsepan, mengeker dan pengekeran.
Kata-kata serapan yang diawali dengan fonem geseran apiko-dental tak bersuara /s/ ada yang mengalami peluluhan ada yang tidak. Kata-kata tersebut contohnya: sample, setor, sekrup, setop. Jika mendapat awalan meng- dan peng-an kata-kata tersebut menjadi menyampel dan penyampelan, menyetor dan penyetoran, menyekrup dan penyekrupan, menyetop dan penyetopan.
Seperti halnya pada unsur serapan yang lain, kata-kata yang masih terasa asing mendapat perlakuan yang berbeda, contohnya pada kata “sinkrun” dan “sistematis”, jika mendapat awalan meng- dan peng-an menjadi mensinkrunkan dan pensinkrunan, mensistematiskan dan pensistematisan.
Kata dasar serapan yang diawali oleh gugus konsonan /pr/ seperti pada protes, program, produksi, dan praktik, jika mendapat awalan meng- /p/ tidak luluh menjadi: memprotes, memprogram, memproduksi, dan mempraktikkan. Tetapi apabila mendapat konfiks peng-an /p/-nya luluh menjadi: pemrotesan, pemrograman, pemroduksian, dan pemraktikan. Ini bukan perlakuan yang istimewa untuk unsur-unsur serapkan sebab hal yang demikian itu kita lihat juga pada bentukan memperkirakan, memprihatinkan.
Bagaimana dengan kata serapan yang diawali gugus konsonan /tr/, /kr/, dan /st/? kata-kata serapan yang diawali dengan gugus /kr/ contohnya: kritik, kristal, kredit, kreatif konsonan /k/-nya tidak hilang bila mendapat awalan meng- menjadi: mengkritik, mengkristal, mengkristal dan mengkreatifkan. Tetapi /k/ itu lebur apabila mendapat awalan peng- atau peng-an menjadi: pengritikan dan pengritik, pengristalan dan pengreditan dan pengredit.
Kata-kata serapan yang diawali dengan gugus konsonan /tr/, /st/, /sk/, /sp/, /pl/, /kl/, konsonan yang awalnya tidak pernah mengalami peleburan, baik dalam pembentukan dengan awalan meng-, peng-, maupun konfiks peng-an, contohnya: mentraktir, pentraktir, menstabilkan, penstabil, penstabilan; menskalakan, penskala, penskalaan; mensponsori, pensponsor, pensponsoran; memplester, pemplester, pemplesteran; mengkliping, pengkliping, pengklipingan.
Kata-kata serapan yang diawali oleh gugus konsonan yang terjadi atas tiga fonem dan fonem yang pertama berupa hambatan atau geseran tak bersuara, kalau ada, sudah tentu konsonan pertamanya tidak pernah lebur apabila mendapat awalan meng- atau peng-
Kata-kata serapan itu tentu saja juga dapat mengalami proses pengulangan seperti pada: traktor-traktor, computer-komputer dan sebagainya. Kata-kata serapan tidak dapat mengalami perulangan sebagian yang berupa dwipurwa atau dwiwasana. Pada pengulangan dengan awalan konsonan awal pada suku ulangannya juga tidak luluh, contohnya: mempraktis-praktisan, mengkritik-kritik, menstabil-stabilkan.
4. Perhubungan antarmakna
Kata-kata biasanya mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Dalam hal ini para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan makna itu ke dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, polisemi, hiponimi, antonimi dan sebagainya. Berikut akan dijelaskan beberapa kategori yang penting dalam pembahasan semantik.
a. Sinonimi
Dua buah kata yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang sinonim. Kata perempuan yang mempunyai komponen makna manusia dewasa berkelamin perempuan adalah sinonim dengan kata wanita. Keduanya mempunyai komponen makna yang sama. Sekalipun kata perempuan dan wanita sulit dibedakan artinya namun di dalamnya ternyata ada unsur emotif yang membedakannya. Kata perempuan merupakan kata yang metral, dan wanita terasa ada implikasi penghargaan pengucapannya.
b. Hiponimi
Dekat dengan perhubungan yang disebut sinonimi adalah perhubungan yang disebut hiponimi. Hiponimi menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka perhubungan itu disebut hiponimi. Kata warna meliputi semua warna lain. Jadi merah, hitam, hijau adalah hiponim dari kata warna. Hiponimi kemudian menjadi dasar pendekatan yang disebut dengan semantic field atau semantic domain, yaitu pendekatan semantik yang mecoba melakukan klasifikasi makna berdasarkan persamaan arti atau bidang makna yang sama dikumpulkan dalam satu kelompok
c. Homonimi dan Polisemi
Bila terdapat dua buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama, maka perhubungan makna dan bentuk itu disebut homonimi (sama nama atau juga yang sering disebut homofini (sama bunyi). Kata seperti pukul dapat menyiratkan makna (1) jam seperti terdapat dalam pukul tiga, dan dapat menyiratkan makna (2) kegiatan memukul. Kata yang mempunyai banyak makna disebut polisemi. Kata bisa (1) dan bisa (2) mengandung makna yang sama sekali berbeda, oleh sebab itu dianggap dua kata yang dua kata yang kebetulan bunyi sama atau sama nama. Tetapi kata pukul mempunyai dua makna yang saling berhubungan, dan oleh karena itu disebut kata yang mempunyai banyak makna.
d. Antonimi
Perhubungan makna yang terdapat antara sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, atau polisemi, bertalian dengan kesamaan-kesamaan, antonimi, sebaliknya, dipakai untuk menyebut makna yang berlawanan. Bentuk-bentuk seperti laki-laki dan hidup, masing-masing berantonim dengan perempuan dan mati . Dan kata-kata yang berlawanan makna itu disebut mempunyai perhubungan yang bersifat antonimi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar